Aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia seperti tragedi 98 yang kembali mengintai di tahun 2025.
Mahasiswa, buruh, dan massa lain bergerak spontan, pola yang muncul ibarat skenario politik gelap yang seolah terakumulasi.
“Rakyat” yang turun ke jalan bukan sekadar menyalurkan ketidakpuasan, tetapi membakar gedung-gedung DPRD, merusak fasilitas publik, dan menimbulkan kekacauan yang melumpuhkan aktivitas kota.
Gelombang ini memaksa aparat keamanan menahan diri, mengamati setiap langkah, sambil menjaga keseimbangan di tengah ketegangan yang mengisi ruang publik.
Pertemuan tertutup Presiden Prabowo dengan sejumlah ketua umum partai politik menegaskan bahwa dinamika ini lebih dari sekadar demonstrasi biasa.
Dalam pertemuan itu, Presiden Prabowo menyebut adanya potensi upaya makar, langkah yang bisa memanfaatkan gelombang demonstrasi sebagai panggung untuk mengguncang stabilitas kekuasaan.
Ancaman ini memperlihatkan bahwa ketegangan bukan hanya spontanitas massa, tetapi bagian dari strategi tersusun yang memengaruhi arah politik.
Di balik kerusuhan, pola pergerakan massa menyingkap kemungkinan adanya mobilisasi terstruktur. Rumah pejabat dan fasilitas publik yang dirusak menimbulkan pertanyaan: siapa yang menggerakkan langkah-langkah ini, dan untuk tujuan apa?
Sejarah menjadi cermin; Tragedi 1998 memperingatkan bahwa tekanan publik bisa memicu perubahan besar, dan gelombang 2025 ini menunjukkan interaksi kepentingan tersembunyi yang kompleks.
Nama Geng Solo muncul sebagai bayangan yang mungkin terlibat, bukan sebagai tuduhan langsung, tetapi sebagai simbol jaringan kepentingan yang memanfaatkan ketegangan untuk kepentingan tertentu. Mereka hadir sebagai aktor tersembunyi, menggerakkan massa, menunggu momentum untuk memengaruhi arah politik.
Masyarakat dan media menjadi pengamat, menafsirkan langkah demi langkah. Invisible hand politik tetap memberi tekanan, membentuk dinamika yang menantang semua pemain di lapangan.
Jika gelombang demonstrasi berlanjut, medan politik akan semakin rumit. Demonstrasi bukan sekadar ekspresi sosial, tetapi refleksi dari kepentingan yang saling bertabrakan, membentuk ketidakpastian yang harus dikelola dengan cermat.
Akhirnya, siapa dalang di balik politik gelap ini tetap menjadi pertanyaan. Geng Solo muncul sebagai simbol bayangan, sementara massa bergerak mengikuti arus yang tak sepenuhnya mereka pahami.
Memahami pola, membaca risiko, dan menempatkan strategi tepat menjadi kunci agar demokrasi tetap berjalan dan sejarah kelam tidak terulang.
Makassar, Senin 1 September 2025
Penulis : Ibhe Ananda
Ketum Serikat Wartawan Media Online Indonesia
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok





















