Zonafaktualnews.com – Sebanyak 6 pabrik tekstil di Indonesia tutup, gelombang PHK semakin mengganas.
Penutupan pabrik tekstil pada tahun 2023 kembali bergulir hingga saat ini, meninggalkan dampak besar bagi ribuan pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa penurunan pesanan hingga hilangnya pesanan sama sekali menjadi alasan utama di balik penutupan pabrik-pabrik tekstil. Hal ini telah menyebabkan ribuan pekerja menjadi korban PHK.
“Pabrik-pabrik tekstil terus mengalami penutupan. Salah satunya adalah PT. S.Dupantex, yang berlokasi di Jalan Pantura, Pekalongan, Jawa Tengah. Baru-baru ini, pada tanggal 6 Juni, sekitar 700 pekerja di-PHK,” ungkap Ristadi mengutip CNBC Indonesia pada Senin (10/6/2024).
“Ini menambah daftar panjang pabrik-pabrik tekstil yang melakukan PHK sejak awal tahun 2024. Beberapa melakukan efisiensi, sementara yang lain tutup karena tidak mampu bertahan,” tambahnya.
Berikut adalah daftar pabrik tekstil yang terpaksa tutup sejak awal tahun 2024:
PT S. Dupantex, Jawa Tengah: PHK 700 pekerja
PT Alenatex, Jawa Barat: PHK 700 pekerja
PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah: PHK 500 pekerja
PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah: PHK 400 pekerja
PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah: PHK 700 pekerja
PT Sai Apparel, Jawa Tengah: PHK 8.000 pekerja.
Data ini hanya mencakup pabrik-pabrik tempat pekerja yang merupakan anggota KSPN bekerja, dan tidak termasuk pabrik-pabrik tempat karyawan bukan anggota KSPN.
Ristadi menjelaskan bahwa PT Kusumaputra Santosa, PT Kusumahadi Santosa, dan PT Pamor Spinning Mills adalah bagian dari Kusuma Group. Grup ini terlibat dalam produksi benang hingga produk jadi seperti kain (printing).
“Krisis di sektor tekstil masih berlangsung. Penyebabnya hampir sama: pesanan menurun hingga tak ada pesanan sama sekali. Oleh karena itu, pemerintah perlu turun tangan dengan segera,” ungkap Ristadi.
“Langkah yang perlu diambil antara lain adalah membatasi impor produk tekstil kecuali untuk bahan baku yang memang tidak tersedia di Indonesia. Selain itu, perlu juga memberantas impor ilegal produk tekstil yang merusak pasar domestik, menyebabkan produk dalam negeri semakin tidak diminati,” tambahnya.
Dia menyoroti bahwa saat ini industri TPT dalam negeri yang masih bertahan adalah perusahaan-perusahaan yang lebih berorientasi pada pasar ekspor.
“Kondisi ini menyedihkan, karena pasar dan kebutuhan tekstil masyarakat disuplai oleh produk impor. Padahal kita memiliki kemampuan untuk memproduksi sendiri. Ini sungguh ironis,” tandasnya.
Ristadi juga menunjukkan bahwa banyak PHK yang terjadi tidak dilaporkan secara resmi, dan perusahaan sering kali enggan atau takut melaporkan hal tersebut karena khawatir memengaruhi kredibilitas di mata perbankan dan pembeli.
“Saya sering kali menerima protes, bahkan somasi, karena kami mengungkapkan bahwa perusahaan telah melakukan PHK,” ungkapnya.
“Tapi jika hal ini tidak diungkapkan, pemerintah mungkin tidak menyadari masalahnya. Mereka mungkin beranggapan bahwa PHK massal itu hanya sekadar isapan jempol atau karangan dari kami semata. Padahal kenyataannya, industri tekstil sedang menghadapi masalah serius, dan kondisinya semakin memburuk. Banyak pekerja yang menjadi korban PHK,” tambah Ristadi.
Ristadi berharap bahwa pemerintah akan segera bertindak untuk mengatasi gelombang PHK yang terus melanda pabrik-pabrik manufaktur di dalam negeri. Ini tidak hanya berlaku untuk pabrik TPT, tetapi juga industri alas kaki dan industri padat karya lainnya.
“Karena PHK ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, yang kemudian akan berimbas pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” pungkasnya.
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di Google News