Zonafaktualnews.com – Hakim punya palu. Ketuk sekali, terdakwa tegang. Ketuk dua kali, nasib bisa berbelok tajam. Ketuk tiga kali, dunia bisa jungkir balik. Begitulah hukum, di tangan yang salah, keadilan bisa berubah jadi komedi murahan.
Sindiran ini bukanlah sekedar metafora. Inilah kenyataan yang terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, ketika seorang oknum polisi berpangkat Brigadir Dua berinisial AFH divonis bebas meski didakwa mencabuli seorang anak berusia lima tahun di Kabupaten Keerom, Papua.
Proses hukum berjalan, fakta-fakta disusun rapi, harapan akan keadilan menguat. Tok! Palu diketuk, dan keputusan pun jatuh—vonis bebas.
Pada tanggal 20 Januari 2025, majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura memutuskan AFH tidak bersalah.
Keadilan yang diharap-harap justru menguap begitu saja. AFH bukan hanya menghirup udara bebas, tapi juga kembali bertugas seolah tak ada noda di seragamnya.
Dari Laporan ke Putusan Bebas: Proses Hukum yang Berliku
Kisah kelam ini bermula pada tahun 2022. Keluarga korban mulai menyadari perubahan drastis dalam perilaku anak mereka.
Setelah didorong untuk bercerita, korban akhirnya mengungkap kejadian tersebut kepada kakaknya.
Mendengar pengakuan sang anak, keluarga melaporkan kasus ini ke Polda Papua pada tahun 2023.
Namun, harapan akan keadilan yang cepat justru berbenturan dengan kenyataan pahit: proses hukum berjalan lamban dan penuh tantangan.
“Pelaku baru ditahan enam bulan setelah laporan dibuat,” ujar kuasa hukum korban, Dede Gustiawan Pagundun.
Dalam perjalanan kasus ini, sempat ada mediasi antara keluarga korban dan pelaku yang difasilitasi oleh Polres Keerom.
Salah satu hasilnya, AFH setuju membayar Rp80 juta kepada keluarga korban dengan alasan biaya pengobatan trauma.
Namun, masyarakat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
“Itu bukan sekedar uang. Itu bukti bahwa pelaku memang bersalah,” tegas Dede. “Mana ada orang yang tidak melakukan tindakan pencabulan, tapi bersedia membayar Rp80 juta? Tidak masuk akal.”
Ironisnya, justru surat kesepakatan ini yang dijadikan pegangan oleh majelis hakim untuk membebaskan AFH. Karena tidak ada saksi mata langsung, hakim menyatakan tidak cukup bukti untuk menghukum pelaku.
Padahal, dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak, kesaksian korban seharusnya memiliki bobot yang kuat di mata hukum. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: hak korban atas restitusi dipelintir menjadi tameng bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum.
Putusan Bebas yang Menuai Gelombang Kecaman
Vonis bebas ini langsung menuai kecaman luas. Komisi III DPR RI turut angkat suara, menilai bahwa putusan ini mencederai rasa keadilan dan menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual.
“Putusan ini sama sekali tidak pro terhadap hak anak dan HAM. Hukum kita tetap memberi celah bagi pelaku untuk lolos,” tegas Wakil Ketua Komisi III, Andreas Hugo Pareira.
Netizen pun tak tinggal diam. Media sosial riuh dengan komentar bernada geram.
“Bayar 80 juta, langsung bebas? Enak betul hukum kita!” tulis seorang pengguna Twitter.
“Restitusi itu hak korban, bukan cara pelaku buat nego vonis!” sindir yang lain.
“Keadilan macam apa ini? Hukum seolah jadi barang dagangan!” timpal netizen lainnya.
Sementara itu, keluarga korban kini hidup dalam ketakutan. Pelaku yang kembali bertugas di kesatuannya sering melewati rumah korban.
“Yang kita takutkan, pelakunya sudah bertugas lagi. Sering lewat di depan rumahnya. Kita khawatir kalau korban tidak sengaja melihat pelaku lalu lalang, traumanya kembali,” ujar Dede.
Kini, keluarga korban masih berjuang. Kasasi telah diserahkan kepada Mahkamah Agung. Komisi Yudisial juga akan menerima surat aduan pada Senin (17/3/2025).
Harapannya, keadilan tak sekadar jadi jargon. Tapi siapa yang bisa menjamin? Jika keadilan bisa dinegosiasikan, maka yang kita saksikan bukanlah hukum—melainkan dagang sapi.
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di Google News