Zonafaktualnews.com – Kekuatan Geng Solo mulai menunjukkan wajahnya—pelan, tapi pasti, merayap ke pusat kuasa.
Aroma kekuasaan itu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah tempat. Kadang mengendap, kadang menyelinap, lalu menyergap dari celah-celah yang tak terlihat.
Enam bulan berlalu sejak Prabowo Subianto resmi duduk di kursi RI-1. Namun tak ada pesta kekuasaan yang utuh.
Di balik senyum diplomatik dan jabat tangan formal, denyut keras politik berdetak dari arah timur—dari Solo, dari kota asal sang mantan presiden yang masih bergigi.
Kekuatan Geng Solo—istilah yang semula terdengar sebagai lelucon politik di warung kopi—telah menjelma menjadi skenario serius.
Bukan lagi rumor jalanan, melainkan peta pertempuran baru yang menjangkau meja kabinet dan ruang-ruang kendali negara.
Bukan tanpa sebab. Para menteri yang secara administratif tunduk pada Presiden Prabowo, kini satu per satu terlihat merapat ke Solo.
Bahkan para kepala daerah mulai menyesuaikan arah angin. Gubernur Jawa Timur, misalnya, terlihat lebih akrab dengan orbit Jokowi ketimbang membangun sinergi dengan istana.
Tak berhenti di sana. Dalam momen sarat isyarat, seorang pria bergaya preman mendapat penghormatan istimewa saat rombongan Tim Percepatan Urusan Aparatur bertamu ke kediaman Jokowi.
Ini bukan sekadar adegan kebetulan, tapi bagian dari simbol bahwa kekuasaan informal kembali unjuk gigi—yang tak kalah tajam, tak kalah berbahaya.
Prabowo, sang jenderal tertinggi, tampak berdiri sendirian di tengah pusaran yang makin menggila. Bukan lawan dari luar, melainkan para loyalis Jokowi yang justru ada di dalam kabinet.
Di meja makan kekuasaan, di kursi-kursi rapat, mereka menyelinap dalam diam, tapi mencengkeram dengan erat.
Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih, menyebut ini bukan sekadar manuver biasa.
“Presiden Prabowo sudah dikepung. Skenario pembusukan pemerintahan sedang berjalan,” katanya.
Ia menyebut kekuatan yang muncul dari arah Solo sebagai sumbu dari upaya kudeta halus—tanpa letusan, tapi mematikan.
Oligarki, dalam pandangannya, tak pernah benar-benar kalah. Mereka hanya berganti kulit, memperhalus taktik, dan menjalin aliansi baru. Mereka tak teriak. Mereka tak gaduh. Tapi mereka menggigit, mematikan.
Kini publik tinggal menanti: siapa yang menarik pelatuk lebih dulu? Siapa yang menyergap, siapa yang disergap?
Dalam panggung kekuasaan yang dipenuhi wajah-wajah familiar, kekuatan Geng Solo bisa saja berubah jadi kekuatan pemakzulan yang paling senyap dalam sejarah republik.
Karena dalam republik ini, siapa pun yang lupa membaca arah angin, tinggal menunggu waktu untuk tumbang—bukan karena dihantam dari luar, tapi karena disergap dari dalam rumahnya sendiri.
Dan mungkin, kali ini pun begitu.
(Id Amor)
Follow Berita Zona Faktual News di Google News