Perang selalu dimulai dengan retorika kemenangan. Negara demi negara berdiri dengan dada membusung, mengangkat senjata atas nama kehormatan dan kedaulatan.
Tapi di balik layar megah kekuasaan itu, hanya ada air mata, kelaparan, kematian, dan kehancuran yang tak berkesudahan.
Tak ada pemenang dalam perang—yang ada hanyalah manusia yang kalah oleh kerakusannya sendiri.
Lihatlah dunia hari ini. Di Timur Tengah, dentuman bom mengguncang Gaza setiap hari. Anak-anak Palestina tidur dalam dekapan puing dan serpihan kaca. Mereka tak pernah mengenal damai; hanya tahu ketakutan dan kehilangan. Dunia seperti kehilangan nurani, membiarkan generasi tumbuh dalam trauma yang terus diwariskan.
Di balik panggung diplomasi, Israel dan Iran terus saling mengancam. Mereka membangun aliansi senjata, memperkuat militer, dan saling menebar provokasi.
Ketegangan ini, jika dibiarkan menyala, bisa menjadi percikan yang menyalakan bara Perang Dunia Ketiga. Dan saat api itu membesar, tak ada yang akan luput dari jilatan kobarnya.
Amerika Serikat, yang kerap muncul sebagai penengah, sering justru menjadi bagian dari keruwetan. Di satu sisi mereka menyalurkan bantuan kemanusiaan, namun di sisi lain terus menyuplai senjata dan memperkuat aliansi militer. Dunia menjadi papan catur, dan rakyat-rakyat kecil menjadi bidak yang dikorbankan tanpa suara.
Setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya menghancurkan bangunan, tapi juga meruntuhkan peradaban. Setiap peluru yang ditembakkan tak hanya menembus tubuh, tapi juga masa depan.
Apa jadinya jika para pemimpin dunia benar-benar mendengarkan tangis anak-anak di Gaza, menyaksikan ibu yang memeluk jasad bayinya yang tak bernyawa, atau merasakan lapar di dalam tenda pengungsian? Mungkin mereka akan sadar: tidak ada kejayaan dalam perang, yang ada hanyalah luka panjang yang diwariskan lintas generasi.
Jika konflik antara Israel dan Iran terus dibiarkan, jika negara-negara adidaya terus bermain di balik layar dengan kepentingan masing-masing, maka dunia hanya tinggal menunggu waktu.
Perang Dunia Ketiga bukan lagi kemungkinan, tapi ancaman yang nyata. Dan ketika itu datang, tidak akan ada bangsa yang benar-benar siap menghadapi kehancurannya.
Perang bukanlah bukti kekuatan, melainkan tanda kebangkrutan moral. Kedamaian adalah pilihan yang menuntut keberanian jauh lebih besar daripada menarik pelatuk senjata.
Dalam dunia yang beradab, dialog adalah senjata yang paling ampuh. Dan dalam dunia yang bijak, kasih sayang lebih kuat dari rudal mana pun.
Seperti kata pepatah, “Jika kau ingin damai, persiapkan dirimu bukan untuk perang, tapi untuk pengertian.” Karena hanya lewat pengertianlah manusia bisa membangun jembatan, bukan tembok. “Api tak bisa dipadamkan dengan api. Kebencian tak bisa disembuhkan dengan kebencian. Hanya cinta dan kesadaran yang bisa menghapus dendam.”
Sebelum dunia tenggelam dalam amarah kolektif, kita perlu bertanya ulang: siapa yang sebenarnya menang dalam perang? Bila anak-anak kehilangan masa depannya, ibu-ibu kehilangan keluarganya, dan bapak-bapak kehilangan harapannya—maka seluruh umat manusia adalah pihak yang kalah.
Perang tak pernah menjadi jawaban. Ia hanyalah pertanyaan yang terus dijawab dengan kekerasan oleh ego, ambisi, dan kerakusan. Selama jawaban itu masih berupa senjata, maka dunia akan terus terjerembap dalam jurang kehancuran.
Kita tidak membutuhkan lebih banyak senjata. Kita membutuhkan lebih banyak hati yang terbuka. Dunia tak perlu lebih banyak panglima. Dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mencintai damai.
Penulis : Ibhe Ananda
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok