Zonafaktualnews.com – Di tanah yang menjunjung tinggi harga diri seperti Jeneponto, janji bukan sekadar kesepakatan dua pihak.
Janji adalah sulaman marwah. Bila ia koyak, maka bukan hanya satu keluarga yang merasa tercoreng, tetapi satu kampung yang menanggung malu bersama.
Malam itu, Sabtu 5 April 2025, langit Dusun Embo di Kecamatan Tamalatea tak hanya gelap karena malam. Ia gelap karena amarah. Karena sebuah janji yang tak ditepati—dan kehormatan yang tak dihormati.
Rumah panggung milik Feri Dg Situju (45) hancur diamuk massa. Dinding kayunya patah, lantainya terangkat, dan gentengnya berserakan. Ia bukan korban kejahatan kriminal, bukan pula bencana alam. Ia korban dari sebuah ikatan yang diingkari.
Sumber segala ini adalah Miko, anak tiri Feri. Ia telah menjanjikan akan membawa uang panai senilai Rp100 juta kepada keluarga gadis pinangannya, Putri, yang tinggal di Jalan Kelara, Kecamatan Binamu. Tapi janji itu, yang seharusnya ditepati malam itu juga, berubah jadi debu.
Miko dan keluarganya tak datang. Bahkan kabarnya, mereka telah meninggalkan kampung.
“Ada pergerakan massa dari masyarakat Jalan Kelara yang rencananya menuju Embo, sehubungan perkara siri’. Warga atas nama Miko di Dusun Embo batal datang membawa uang panai,” ujar Kapolsek Tamalatea, Iptu Suardi, Minggu (6/4/2025).
Pukul 21.00 Wita, pihak keluarga Putri sempat berkoordinasi dengan Kepala Desa Turatea, Supandi. Mereka ingin mencari jalan damai. Tapi harapan itu pupus karena Miko tak kunjung ditemukan. Suasana jadi tegang. Rasa malu berubah jadi bara.
“Pihak keluarga perempuan merasa sangat malu karena mengingkari kesepakatan tersebut,” lanjut Iptu Suardi.
Dan hanya berselang setengah jam kemudian, pukul 21.30 Wita, massa dari pihak perempuan datang dengan emosi yang tak lagi bisa diredam. Rumah Feri diserbu.
Video dari akun Facebook Citra Erang menjadi saksi kekacauan malam itu. Suara perempuan terdengar menggema, penuh getar dan luka.
“Rumahnya sudah hancur, telepon saja keluargamu, rumahnya sudah hancur!” ujar seorang perempuan dalam video tersebut.
Dalam unggahan lain, Citra menyebut, “Melamar tidak punya uang, nda ada uang panai na. Tidak sanggup, alhasil dimassa,” tulisnya dalam caption unggahan itu.
Malam itu, rumah panggung yang mungkin dibangun perlahan dengan susah payah, luluh lantak dalam beberapa menit. Dan ironisnya, Miko sekeluarga tidak ada di tempat saat semua ini terjadi.
Keesokan harinya, Feri Dg Situju mendatangi Mapolsek Tamalatea. Bukan untuk membalas. Tapi untuk melapor. Karena pada akhirnya, hukum negara tetap jadi tumpuan ketika adat tak lagi memberi tempat untuk memaafkan.
“Orang tuanya sementara melapor, sekarang sudah ada di kantor,” kata Kapolsek Suardi, Minggu (6/4/2025).
Namun, semua orang tahu, yang paling sulit dibangun kembali bukanlah rumah itu. Tapi rasa hormat. Siri’ na pacce. Luka yang ditorehkan oleh sebuah janji yang tak ditepati.
Di tanah Bugis-Makassar, tak membawa uang panai tak hanya berarti tak sanggup menikah. Tapi berarti tak mampu menjaga kehormatan.
Dan dalam adat yang dijunjung tinggi, itu sama artinya dengan menampar wajah sendiri di hadapan leluhur.
(Id Amor)
Follow Berita Zona Faktual News di Google News