Zonafaktualnews.com – Dunia seakan runtuh bagi AS, seorang ibu mertua yang tinggal di Desa Kadacua, Kecamatan Kulisusu, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pada 16 Januari 2025, ketika AS tengah sibuk memasak di dapur rumahnya, dia tidak pernah menyangka akan menjadi korban tindakan asusila dari menantunya sendiri, seorang oknum polisi yang bertugas di Polres Buton Utara, berinisial AD.
Peristiwa tersebut bukan hanya melukai AS, tetapi juga mengguncang seluruh keluarga besar mereka yang tak bisa menerima kenyataan pahit ini.
Kejadian bermula saat AD memanggil AS ke kamar, dengan alasan ingin berbicara. Namun, AS, yang tengah sibuk memasak, menolak permintaan tersebut.
Penolakan itu tak dihiraukan oleh AD, yang malah mendekati AS dari belakang, memeluknya tanpa persetujuan, lalu membopongnya ke kamar.
Di situlah diduga terjadi pelecehan seksual yang sangat mengguncang, terutama bagi S, suami korban dan ayah mertua AD.
“Saya tidak ada di rumah saat itu. Begitu tahu, saya langsung laporkan dia (AD) ke Polres Buton Utara,” ungkap S dengan nada penuh penyesalan pada Rabu, 16 April 2025.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya dipenuhi dengan rasa kecewa yang mendalam, merasa sangat dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarganya.
“Kenapa dia tega begitu? Istri saya itu mertuanya (AS), masih banyak perempuan lain di luar sana,” lanjutnya, seolah tak habis pikir bagaimana seorang menantu bisa melakukan hal yang demikian kejam terhadap ibu mertua yang telah memberi kepercayaan.
Tak lama setelah laporan itu, proses hukum dimulai, dan AD dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Polres Buton Utara.
Meski keputusan sudah diambil, AD ternyata mengajukan banding terhadap putusan tersebut, yang semakin memperdalam rasa kecewa di hati keluarga.
“Kalau Polres Buton Utara sudah sidang AD dan putusannya PTDH. Tapi dia (AD) mengajukan banding. Jadi sekarang yang menentukan layak atau tidaknya AD sebagai anggota Polri adalah Polda Sultra melalui sidang Komisi Banding,” jelas S, berharap agar proses hukum yang lebih tinggi bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Yang semakin menambah kesedihan keluarga adalah ketika AD mengabarkan kepada keluarga bahwa ia tidak akan dipecat dan akan dibebaskan berkat bantuan pihak-pihak tertentu di Polda Sultra.
“Saya dengar dia tidak akan dipecat, berita itu saya dengar. Saya sangat merasa kecewa, karena tidak mendapatkan keadilan sebagai masyarakat sipil, karena yang dilawan adalah Aparat Penegak Hukum (APH),” kata S, dengan hati yang penuh kekecewaan terhadap ketidakadilan yang dirasakannya.
Kini, seluruh keluarga hanya berharap satu hal: keadilan. “Saya minta keadilan. Dia (AD) harus diberhentikan, itu sudah sah. Jangan ada upaya untuk meloloskan dia karena sudah jelas status dia (AS) PTDH. Dia sudah hancurkan rumah tangga saya,” tegas S, penuh harap agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
Keadilan bagi keluarga ini kini menjadi nyala api yang tak boleh padam. Di tengah pergulatan dengan kekuasaan, mereka tetap berharap agar hukum mampu berpihak pada kebenaran, tanpa memandang status dan kedudukan.
(Id Amor)
Follow Berita Zona Faktual News di Google News