Nyalakan Api Nyaris Padam
Dalam kata sambutan peluncuran buku “Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh” setebal 396 halaman, dengan penerbit Yayasan Mata Air Jernih, cetakan pertama Juli 2025, sang penulis LK. Ara mengatakan bahwa buku ini ditulisnya bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk menyalakan kembali api yang nyaris padam.
“Di dalamnya, pembaca akan menjumpai sejarah, tafsir budaya, dan potret para maestro yang telah membaktikan hidupnya untuk menjaga suara dan gerak dari tanah tinggi Gayo,” katanya.
Istimewanya, buku ini juga hadir sebagai bagian dari perjalanan para maestro Didong dan Tari Guel yang tampil di panggung nasional pada acara Panggung Para Maestro di Museum Nasional Jakarta pada tanggal 11–12 Juli 2025.
“Sebuah momentum langka, ketika suara kampung Gayo menggema di jantung ibu kota, menjadi saksi bahwa tradisi bukanlah beban, melainkan kemuliaan. Saya mempersembahkan buku ini untuk anak-anak muda yang bertanya tentang akar, untuk para penari dan penyair yang ingin menyelusuri jejak, serta untuk siapa saja yang percaya bahwa seni tradisi bukan warisan uang, melainkan kompas untuk pulang. Semoga buku ini menjadi pengantar yang jernih untuk memahami bahwa kebudayaan bukan hanya apa yang kita warisi, tetapi apa yang kita pertahankan, dan terus hidupkan,” ujarnya.
LK. Ara lahir di Takengon, Aceh, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), pegawai Sekretariat Negara, dan terakhir bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun (1963–1985). Ia memperkenalkan penyair tradisional Gayo, To’et, dan mentas di kota-kota besar di Indonesia.
Pada tahun 1969, ia menerbitkan buku antologi puisi pertamanya. Pada tahun 2019, ia memperoleh Anugerah Kebudayaan Maestro Seni Tradisi Didong Gayo dari pemerintah RI.
Prof. Dr. Wildan, M.Pd (Rektor ISBI Aceh) pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa LK. Ara telah menjahit kembali serpihan-serpihan sejarah, makna, dan nilai, menjadi satu karya utuh yang akan berguna bagi generasi muda, para seniman, dan akademisi.
Lebih dari itu, buku ini adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan.
“Seni tradisi tidak hidup di balik museum atau panggung besar, melainkan di antara napas manusia yang masih setia menyebut nama leluhurnya,” ujarnya.
Dikatakannya lagi, buku LK. Ara ini—seorang penyair, budayawan, dan putra Gayo yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga nyala tradisi dari padam—bukan hanya dokumentasi, tetapi napas panjang dari satu peradaban seni yang telah lama berdiri tegak di dataran tinggi.
“Di dalamnya kita temukan cinta pada kampung halaman, pada syair tua yang berdenyut di tubuh Didong, dan pada lenggang sakral Tari Guel yang melambangkan kemuliaan. Sebagai Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, saya menilai buku ini sangat penting sebagai bahan ajar, rujukan ilmiah, maupun sebagai ruang apresiasi budaya,” pungkasnya.
Endo Suanda, etnomusikolog, menyatakan rasa sangat terhormat bisa memberikan kata sambutan pada buku karya LK. Ara, penyair dan budayawan sepuh tetapi semangat dan produktivitasnya tak pernah surut.
“Buku ini adalah dokumentasi peristiwa dan literasi penting dari perjalanan seni pertunjukan Nusantara. Didong dan Tari Guel, sebagai dua ekspresi seni khas masyarakat Gayo, adalah mahkota tradisi yang tidak hanya memukau dan menghibur dalam tampilan, tetapi juga menyimpan filsafat, nilai kolektif, serta kearifan lokal yang kaya—yang tersurat, tersirat maupun tersembunyi—menjadi denyut hidup masyarakat Gayo,” katanya.
Penerbitan buku ini bukan semata pelestarian masa lalu, tetapi juga pewarisan demi menerus ke depan.
“Ia adalah jembatan bagi generasi muda agar mengenal akar, merasakan energi luhur, demi perkembangan seni pertunjukan kini dan esok. Dengan terbitnya buku ini—yang ditulis dengan ungkapan-ungkapan puitis selembut sutra dan setajam samurai—semoga lebih terbuka ruang luas bagi kreativitas panggung seni dan kajian akademik, hingga meningkat pula pengetahuan dan pengakuan dunia terhadap keunikan budaya Gayo,” ucap Endo Suanda.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya





















