Zonafaktualnews.com – Gaza kembali menjadi ladang neraka. Ramadan yang seharusnya penuh doa dan kedamaian berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Waktu sahur yang biasanya diisi dengan kebersamaan, kini hanya menyisakan jeritan pilu, darah yang membasahi tanah, dan tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa.
Ketika warga Palestina terbangun untuk mempersiapkan sahur pada Selasa dini hari, 19 Maret 2025, mereka tak menyangka fajar yang menyingsing akan disertai dentuman bom yang mengoyak langit Gaza.
Serangan udara Israel kali ini lebih brutal dari sebelumnya. Rudal-rudal ditembakkan tanpa ampun, menghancurkan pemukiman, meluluhlantakkan sekolah yang menjadi tempat berlindung bagi mereka yang terusir dari rumah sendiri.
Di antara puing-puing yang berserakan, tubuh-tubuh kecil tergeletak kaku. Bocah-bocah ingusan yang seharusnya berlarian menyalakan petasan, kini hanya diam dalam keheningan maut. Di tengah reruntuhan, Muhammad al-Shawish berdiri dengan tatapan kosong.
“Saudara perempuan saya dan anak-anaknya ada di dalam sekolah itu. Mereka tidak ke mana-mana. Mereka cuma ingin bertahan hidup,” ujarnya dengan suara parau, seolah masih tak percaya bahwa keluarganya telah lenyap dalam sekejap.
Di sudut lain kota, seorang pria berdiri di depan rumahnya yang telah rata dengan tanah. Tangannya masih menggenggam ponsel, berharap ada bantuan yang datang.
Namun suara di seberang hanya menyuruhnya membawa sendiri jenazah ke rumah sakit. Tak ada ambulans, tak ada pertolongan, hanya ada kematian yang menunggu giliran.
Sementara itu, Rumah Sakit al-Shifa telah penuh sesak dengan jenazah yang diselimuti kain kafan plastik putih dan biru.
Puluhan mayat berjajar di lantai, menunggu pemakaman yang entah kapan bisa dilakukan. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sedikitnya 420 warga Palestina tewas dan lebih dari 562 lainnya terluka dalam serangan yang masih berlangsung. Hari ini, angka itu terus bertambah, mendekati 600 korban jiwa.
Di halaman rumah sakit, Sood Abdulsalam Ahmed al-Shawish menatap jenazah-jenazah yang terbungkus kain.
“Saya tidak punya saudara di antara para korban ini. Tapi putra saya terbunuh di awal perang, dan keponakan saya terbunuh di Nuseirat. Semuanya…” katanya lirih. “Kami hanya menginginkan gencatan senjata. Kami tidak menginginkan yang lain,” ujarnya dikutip pada Minggu (23/3/2025).
Tanpa kompromi panjang, Israel tetap mengeluarkan perintah pengusiran massal kepada warga Gaza. Beit Hanoun, Khuzaa, Abasan—satu per satu wilayah dipaksa untuk dikosongkan.
Ratusan keluarga kembali mengungsi, mengemasi barang seadanya sambil menunggu giliran mereka menjadi korban berikutnya.
Jalanan di Kota Gaza yang biasanya ramai kini hampir kosong. Hanya beberapa orang yang terlihat terburu-buru membeli makanan, berharap masih bisa bertahan hidup di tengah kelaparan yang semakin parah.
Namun, di pasar Sheikh Radwan, Em Firas Salama hanya bisa menggeleng putus asa. Tangan tuanya menggenggam kantong plastik berisi dua botol minyak goreng, beras, dan gula—harta yang semakin sulit didapat.
“Pasar hampir kosong. Saya bahkan tidak bisa menemukan bahan makanan pokok. Dan ketika saya menemukannya, harganya sangat tinggi, kami tidak mampu membelinya,” katanya dengan suara lirih.
Baginya, sahur kali ini tak lagi berarti. Tak ada selera makan saat di luar sana ratusan orang meregang nyawa.
“Ini seperti perang lagi,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Di Gaza, Ramadan bukan lagi bulan suci. Yang tersisa hanya kengerian. Neraka telah datang lebih awal—dan dunia hanya menonton dari kejauhan.
(Id Amor)
Follow Berita Zona Faktual News di Google News