Zonafaktualnews.com – Buku antologi puisi LK. Ara berjudul “Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh” bukan merupakan referensi akademis, tetapi buku sastra ini adalah filosofis yang ditulis dalam bentuk puisi.
“Seperti sudah saya katakan di awal pembukaan diskusi tadi, kenapa para ulama-ulama dulu ternyata juga menulis ungkapan hatinya melalui karya puisi. Rupanya ini rahasianya, karena bahasa tertinggi ada dalam bentuk karya puisi,” ujar moderator Fikar W. Eda (jurnalis dan penyair), bersama narasumber Prof. Dr. Wildan, M.Pd (Rektor ISBI Aceh), dan Miko Pegayon (praktisi Didong Jakarta) dengan MC Swary Utami Dewi.
Hal tersebut dikatakannya ketika menutup acara peluncuran dan diskusi antologi puisi ke-15 “Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh” karya LK. Ara, dengan tema LK. Ara, Maestro Seni Sastra Gayo “Suara dari Anak Gunung”, di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis sore (24/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Seperti yang juga telah dikatakan Prof. Wildan tadi, bahwa semua kalimat dalam puisi-puisi di buku ini penuh dengan metafor-metafor yang bisa kita nikmati dari hati ke hati,” kata Fikar W. Eda seraya menambahkan buku ini hanya dicetak terbatas (50 eksemplar), mudah-mudahan ke depan terus berkembang dan bertambah.
Sedangkan Moctavianus Masheka—Bung Octa—Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) selaku penyelenggara acara tersebut mengatakan, LK. Ara adalah penyair tiga zaman (Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi).
Penyair dari tanah Gayo ini sudah lama bermukim di Jakarta, namun pada hari tuanya kembali ke kampung halaman, tanah Gayo, Aceh.
LK. Ara layak dianggap sebagai Maestro Seni Sastra Gayo. Dalam usia 88 tahun, ia tetap produktif menulis.
“Dari diskusi tersebut kelihatan bahwa substansi atau ‘roh’ atau filosofi Gayo ada dalam karya puisi LK. Ara. Mempelajari puisi-puisinya adalah mempelajari metafor-metafor dari tanah Gayo. Ini sangat menarik,” kata Bung Octa, yang juga adalah seorang penyair dan sastrawan.
Ditambahkannya, bahwa TISI adalah “rumah” bagi para sastrawan—khususnya dari luar daerah—untuk mempromosikan karya-karyanya dalam acara peluncuran dan diskusi buku sastra tersebut.
“TISI sudah pernah menyelenggarakan peluncuran dan diskusi buku antologi puisi karya Syarifuddin Arifin, penyair dari Padang, Sumatera Barat; Ewith Bahar, penyair dari Kota Jakarta; Endut Ahadiat, penyair dari Padang, Sumatera Barat; dan yang keempat ini TISI menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku antologi puisi karya LK. Ara,” kilahnya.
Narasumber diskusi—mewakili generasi milenial—Miko Pegayon (29 tahun) adalah seorang anak muda praktisi Didong di Jakarta.
“Saya bangga dan terharu bisa hadir pada acara yang banyak dihadiri para tokoh seniman besar, budayawan, penyair, dan sastrawan nasional. Saya memang bercita-cita kelak suatu saat syair dan tarian tradisi Didong dari dataran tinggi Gayo bisa masuk dalam kurikulum pendidikan ekskul di sekolah-sekolah,” pinta Miko, yang sehari-harinya membuka usaha kafe kopi produk tanah Gayo ini di kawasan Cipayung TMII, Jakarta Timur.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya





















