Zonafaktualnews.com – Amerika Serikat (AS) dan Iran akan memulai perundingan penting hari ini, Sabtu (12/4/2025), di Oman.
Dunia menahan napas: akankah pertemuan ini membuka jalan menuju perdamaian atau justru menjadi pemicu konfrontasi militer berskala besar?
Perundingan ini digambarkan sebagai momen paling krusial dalam satu dekade terakhir.
Meski Iran bersikeras bahwa pembicaraan dilakukan secara tidak langsung melalui mediator, Washington menyatakan sebaliknya.
Gedung Putih mengklaim akan ada dialog langsung antara pejabat kedua negara.
Presiden AS Donald Trump telah memberikan ultimatum dua bulan kepada Teheran: menerima kesepakatan baru atau menghadapi konsekuensi militer.
“Jika itu memerlukan kekuatan militer, kami akan menggunakannya,” tegas Trump.
Trump bahkan menyebut Israel sebagai pihak yang akan memimpin potensi serangan ke Iran.
Trump menginginkan kesepakatan yang “lebih kuat” dari perjanjian nuklir 2015, yang pernah diteken di era Obama.
Namun, hingga kini, belum ada kejelasan nyata tentang bagaimana bentuk kesepakatan baru yang diinginkan AS.
Sementara itu, Iran bersikeras tidak akan tunduk pada tekanan. Negara itu telah menetapkan “garis merah” dalam perundingan: tidak ada bahasa ancaman, tidak ada tuntutan berlebihan, dan tidak menyentuh program rudal serta sektor pertahanan nasional.
Di sisi lain, kehadiran utusan Timur Tengah pemerintahan Trump, Steve Witkoff, di Oman untuk memimpin delegasi AS menunjukkan betapa tingginya taruhan dalam pembicaraan ini.
Witkoff sebelumnya menegaskan bahwa solusi diplomatik tetap memungkinkan, meskipun kekuatan militer tetap menjadi pilihan terakhir.
Namun, ketegangan tak hanya datang dari meja perundingan. Pengumuman Trump soal negosiasi ini kabarnya mengejutkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Israel, yang selama ini menjadi pendukung keras aksi militer terhadap Iran, disebut belum sepenuhnya sepakat dengan pendekatan diplomatik ini.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memperingatkan dalam opininya di The Washington Post, bahwa perang dengan Iran akan menyeret AS ke dalam konflik mahal dan berkepanjangan.
“Trump seharusnya tidak menjadi presiden AS berikutnya yang terjebak di Timur Tengah,” tulisnya.
Meski situasi diplomatik tampak membaik, banyak pihak menilai hari ini bukanlah awal dari solusi—melainkan ujian kesediaan kedua negara membuka pintu negosiasi yang lebih dalam.
Seorang mantan pejabat AS menyebutnya hanya sebagai “latihan penataan meja”.
Pertanyaannya kini hanya satu: apakah hari ini akan membuka jalan menuju damai, atau menjadi pintu masuk menuju perang?
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di Google News