Zonafaktualnews.com – Kekerasan di Sudan kembali memuncak. Ratusan warga sipil dilaporkan tewas dalam aksi brutal pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di kota El Fasher, Darfur Utara.
Rekaman video yang beredar di media sosial dan telah diverifikasi oleh Al Jazeera memperlihatkan adegan penyiksaan hingga eksekusi terhadap warga sipil oleh anggota RSF.
Sejak lebih dari satu tahun terakhir, kota El Fasher menjadi simbol penderitaan. RSF diketahui mengepung kota itu selama 1,5 tahun, membangun penghalang sepanjang 56 kilometer, menutup jalur keluar, serta mencegah masuknya bantuan makanan dan medis.
Blokade itu menyebabkan ribuan warga terjebak tanpa pasokan bahan pokok.
Amerika Serikat turun tangan meminta Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir untuk membantu menengahi konflik.
Washington bersama ketiga negara Arab tersebut mengusulkan gencatan senjata antara RSF dan militer Sudan (Sudan Armed Forces/SAF) untuk menghentikan pertumpahan darah dan membuka akses kemanusiaan.
Meski RSF disebut telah menyetujui proposal itu, situasi di lapangan menunjukkan kekerasan masih berlanjut.
Di balik upaya diplomasi itu, muncul tudingan bahwa negara-negara Arab yang disebut ikut menengahi justru berperan dalam memperkeruh perang saudara di Sudan.
Sejumlah pengamat dan aktivis HAM menilai Saudi, UEA, dan Mesir, bahkan Rusia, berusaha memengaruhi jalannya konflik melalui bantuan finansial, suplai senjata, dan dukungan politik.
Sejak tumbangnya diktator Omar al-Bashir pada 2019, Sudan memang berada dalam pergolakan. Dua faksi militer yang semula sekutu kini berbalik saling bunuh.
RSF dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), sedangkan SAF dikomandoi oleh Abdel Fattah al-Burhan.
Keduanya berebut legitimasi untuk menguasai pemerintahan setelah kudeta 2021.
“Siapa pun yang menguasai Sudan akan memegang kendali strategis atas kawasan Tanduk Afrika dan Afrika Sub-Sahara,” ujar Charles Ray, mantan duta besar AS yang kini memimpin Program Afrika di Institute for Foreign Policy Research.
UEA disebut-sebut paling aktif menyokong RSF. Laporan para pengamat menunjukkan sejumlah senjata yang digunakan pasukan Hemedti dilacak berasal dari jaringan perusahaan yang bermarkas di UEA.
Meski dibantah pemerintahnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut UEA “memiliki tanggung jawab moral dan politik atas konflik yang kian brutal di Sudan.”
Sementara itu, Mesir terang-terangan berpihak pada kubu militer SAF pimpinan Al-Burhan. Negeri itu beberapa kali menggelar pertemuan resmi dan menyatakan dukungan penuh terhadap “kedaulatan dan peran vital Angkatan Bersenjata Sudan.”
Di sisi lain, Arab Saudi tampil di muka publik sebagai penengah netral, namun analis menilai Riyadh tetap memiliki kepentingan strategis agar Al-Burhan tetap berkuasa.
Konflik berkepanjangan ini telah menjadikan Sudan sebagai salah satu zona kemanusiaan terburuk di dunia.
Organisasi kemanusiaan memperkirakan lebih dari 10 juta orang mengungsi, sementara ribuan lainnya tewas akibat kekerasan bersenjata dan kelaparan yang melanda wilayah Darfur.
Meski berbagai proposal gencatan telah disampaikan, perang saudara di Sudan masih menyala.
Dan selama peluru terus menyalak di El Fasher, dunia kembali dipaksa menonton, tanpa daya, bagaimana kemanusiaan hancur di tengah perebutan kekuasaan yang tak berujung.
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok




















