Zonafaktualnews.com – Dunia industri kreatif Aceh kini menghadapi ancaman serius, bukan dari kurangnya ide atau talenta, melainkan dari kebijakan yang berubah-ubah dan penegakan aturan yang dinilai semena-mena.
Sejumlah pelaku event organizer (EO) menilai, situasi ini telah membunuh kreativitas dan mematikan denyut ekonomi hiburan di Tanah Rencong.
CEO PT Erol Perkasa Mandiri, Steffy Burase, mengungkapkan bahwa pembatalan beruntun terhadap berbagai acara berskala besar di Aceh bukan lagi persoalan teknis, melainkan bentuk nyata dari ketidakpastian kebijakan dan penyalahgunaan wewenang.
“Bukan hanya satu EO yang mengalami ini. Hampir semua acara berskala nasional selalu berakhir dengan hambatan administratif, perubahan aturan mendadak, atau alasan syariat yang sebenarnya sudah dinyatakan ‘lolos’ oleh Dinas Syariat Islam dan MPU. Sementara itu, konser-konser lokal yang tidak mengikuti tata aturan justru dibiarkan berlangsung,” ujar Steffy dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Menurut Steffy, pola penghambatan yang terjadi seringkali dibungkus dengan alasan syariat, padahal akar masalahnya justru terletak pada mekanisme administrasi yang tidak sehat.
“Ada yang lapangannya digembok di hari-H, ada yang diberikan tagihan retribusi dengan angka yang tidak rasional, ada yang izin sudah lengkap tetapi tetap diberhentikan. Situasi seperti ini membuat EO mana pun tidak bisa bekerja dengan kepastian,” katanya.
Ia menegaskan bahwa peristiwa yang menimpa perusahaannya merupakan contoh jelas dari maladministrasi di tingkat pelaksana.
“Dalam kasus kami, alasan syariat tidak bisa dipakai karena seluruh persyaratan keagamaan sudah lolos sejak awal. Yang muncul justru tagihan yang tidak masuk akal dan tindakan penggembokan venue. Ini bukan persoalan syariat, ini masalah tata kelola,” tegasnya.
Kerugian akibat kebijakan semacam ini, lanjut Steffy, tak hanya dirasakan oleh penyelenggara acara, tetapi juga seluruh rantai ekonomi lokal.
“Setiap acara besar melibatkan ratusan pekerja, vendor, UMKM, crew lokal, talent, dan pelaku usaha lainnya. Ketika acara besar selalu dihambat, ekonomi Aceh kehilangan perputaran uang miliaran rupiah,” jelasnya.
Fenomena ini bahkan menciptakan tren baru di masyarakat Aceh, di mana banyak warga kini lebih memilih keluar daerah hanya untuk menikmati hiburan.
“Lebih dari seribu warga Aceh tercatat bepergian ke luar provinsi untuk menghadiri konser nasional. Ini bukti bahwa kebutuhan masyarakat tetap ada, hanya saja tidak bisa dipenuhi di Aceh karena kebijakan yang tidak konsisten,” katanya.
Steffy menegaskan bahwa perjuangan para pelaku industri kreatif bukan untuk menentang syariat, melainkan menuntut aturan yang konsisten, adil, dan berbasis kajian.
“Kalau aturan berubah-ubah tergantung siapa penyelenggaranya, itu bukan lagi syariat dan bukan lagi administrasi, itu ketidakadilan. Suara yang kami bawa adalah suara ratusan pelaku industri kreatif Aceh yang ingin bekerja dengan tenang, transparan, dan profesional,” ujarnya.
Ia menyerukan agar Pemerintah Aceh membuka ruang dialog dengan pelaku industri kreatif agar kebijakan yang lahir tidak merugikan rakyat sendiri.
“Kami hanya meminta pemerintah membuat standar yang jelas, adil, dan tidak semena-mena. Kalau ingin menjaga syariat, lakukan dengan konsisten. Kalau ingin menegakkan aturan, lakukan dengan prosedur yang benar. Yang diperlukan rakyat Aceh hari ini adalah kepastian, bukan larangan yang berubah-ubah,” tutup Steffy.
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok





















