Zonafaktualnews.com – Idul Adha di Gaza tahun ini tak seperti biasanya. Di tengah reruntuhan dan kelaparan yang mendera, hari raya yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan kebersamaan berubah menjadi saksi penderitaan dan kesedihan yang mendalam.
Tak ada daging kurban, tak ada perayaan meriah—hanya harapan yang semakin menipis di tengah kehancuran.
Untuk tahun kedua berturut-turut, warga Gaza harus merasakan Idul Adha tanpa sukacita. Ribuan keluarga kehilangan rumah dan orang-orang terkasih, anak-anak yang biasanya bersorak kini hanya bisa menahan lapar dan trauma.
Perang brutal dan blokade ketat telah mengubah hari raya penuh makna ini menjadi hari penuh duka dan ketakutan.
Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina telah tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Lebih dari 1,9 juta penduduk Gaza kini mengungsi di dalam wilayah yang sama, mencari perlindungan dari serangan yang terus berlanjut.
Hussam Abu Amer, seorang ayah empat anak, menggambarkan kesedihan yang menghimpit keluarganya.
“Dulu saya membelikan baju dan mainan baru untuk anak-anak di Idul Adha. Sekarang, satu-satunya yang mereka minta hanyalah sepotong roti,” katanya dengan suara penuh kepedihan di tengah reruntuhan rumahnya, Kamis (5/6/2025)
Abu Amer terpaksa meninggalkan rumahnya di lingkungan Zeitoun setelah serangan udara menghancurkannya. Dia kini tinggal di tenda pengungsian bersama ratusan keluarga lainnya yang kehilangan tempat berteduh.
“Tahun lalu saya berjanji kepada anak-anak bahwa perang akan berakhir dan kami bisa kembali berbahagia. Tahun ini, saya tidak bisa menjanjikan apa pun,” ujarnya dengan mata yang sayu.
Kota Gaza kini berubah menjadi lautan tenda dan puing, tempat dimana ribuan jiwa berlindung tanpa listrik, air bersih, dan akses makanan memadai.
Pasar-pasar yang dulu ramai kini sunyi, dengan sampah berserakan dan anak-anak yang menangis karena lapar.
“Saya tidak mengizinkan anak-anak saya melihat foto perayaan Idul Adha dari luar. Mereka akan bertanya, dan saya tidak punya jawaban untuk mereka,” ujar seorang warga Gaza, Majed Samaha
Dahulu seorang tukang listrik, kini ia hanya mengandalkan bantuan makanan terbatas yang didistribusikan lembaga kemanusiaan.
Warga Gaza juga menghadapi kelangkaan hewan kurban akibat blokade yang diperketat sejak Maret lalu.
“Kami belum melihat daging selama berbulan-bulan,” kata Abu al-Abd al-Attar, seorang tukang daging yang kini mengungsi. “Domba terakhir saya sembelih di awal Ramadan, itu saja,” tambahnya.
Di Khan Younis, Umm Mahmoud mengaku keluarganya sudah berminggu-minggu hanya makan kacang lentil tanpa minyak.
“Idul Adha dulunya hari penuh kebahagiaan. Sekarang, kami hanya berdoa agar mendapat roti dan air bersih,” katanya lirih.
Pusat-pusat distribusi bantuan seperti UNRWA banyak yang hancur akibat serangan udara, memperparah krisis kemanusiaan.
Listrik padam, air bersih langka, dan fasilitas sanitasi hampir tidak ada. Anak-anak menderita malnutrisi, dehidrasi, dan luka yang tidak tertangani.
Husseni Muhanna, pejabat Pemerintah Kota Gaza, berkata, “Orang-orang tidak meminta kebahagiaan. Mereka hanya meminta agar bisa bertahan hidup,” ungkapnya.
Di tengah kegelapan ini, harapan mulai memudar. Salma al-Sheikh, seorang perempuan Gaza, berkata, “Kami tidak lagi meminta mainan atau daging. Kami hanya ingin agar bom berhenti, ingin pulang ke rumah kami,” ucapnya.
Idul Adha di Gaza bukan lagi tentang pesta dan kurban. Hari raya itu kini menjadi pengingat pahit akan kehilangan, kelaparan, dan penderitaan yang tiada henti.
Kebahagiaan yang dulu melekat di hari raya, kini berubah menjadi doa agar esok bisa bertahan.
Editor : Id Amor
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok