Apa jadinya jika kisah Nabi Ibrahim dan Ismail terjadi hari ini? Mungkin kita akan mengutuk sang ayah, menangisi nasib anak, dan meragukan suara langit.
Tapi begitulah cerita pengorbanan—yang melampaui logika biasa, menembus batas cinta, dan menggugah nurani manusia tentang makna sejati Idul Adha.
Zaman Dulu: Kisah yang Tak Masuk Akal Jika Dibawa ke Sekarang
Bayangkan seorang ayah—Nabi Ibrahim—yang meninggalkan istri dan bayinya di padang pasir gersang tanpa siapa pun. Tanpa rumah. Tanpa air. Hanya karena ia merasa diperintah Tuhan.
Lalu bayangkan lagi: bertahun-tahun kemudian, ayah itu kembali—bukan untuk membawa hadiah atau peluk rindu, tapi membawa mimpi aneh: ia harus menyembelih anaknya sendiri.
Jika kisah ini terjadi hari ini, mungkin media sosial akan dibanjiri komentar seperti:
“Ini orangtua psikopat!”
“Mimpi dijadikan alasan untuk mengorbankan anak?!”
“Kemana saja selama 13 tahun?!”
Tapi kisah ini bukanlah sinetron. Ini adalah sejarah kenabian. Kisah Ibrahim, Hajar, dan Ismail—yang disebut dalam kitab suci dan dikenang setiap tahun.
Bagi yang tak beriman, ini kisah gila.
Bagi yang merenung, ini adalah epik spiritual tentang ketaatan, cinta, dan pengorbanan.
Nabi Ibrahim: Dari Dibakar Raja Namrud hingga Diuji Dua Kali oleh Allah
Sebelum semua ini, Ibrahim pernah menjadi musuh kekuasaan.
Ia menghancurkan berhala-berhala kaumnya, lalu dihukum dengan cara keji: dilempar ke dalam api besar oleh Raja Namrud.
Namun Allah berkata kepada api itu:
“Wahai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69)
Dan benar—api yang mestinya membakar, malah lebih dingin dari hembusan AC. Ibrahim selamat tanpa luka sedikit pun.
Itulah awal dari kehidupan seorang nabi yang seluruh hidupnya adalah ujian.
Ujian keimanan. Ujian cinta. Ujian pengorbanan.
Idul Adha: Ritual yang Penuh Luka, Tapi Suci
Idul Adha bukan sekadar menyembelih kambing, sapi, atau unta. Ia lahir dari:
- Tangisan sunyi seorang ibu (Hajar), yang ditinggal di tengah padang tandus.
- Kesabaran anak muda (Ismail), yang tak memprotes takdir walau nyawanya di ujung pisau.
- Ketaatan seorang ayah (Ibrahim), yang lebih memilih perintah Allah ketimbang naluri darah daging.
Tiga tokoh ini mewakili tiga jenis pengorbanan:
- Hajar, yang ditinggal tanpa protes.
- Ismail, yang siap disembelih tanpa perlawanan.
- Ibrahim, yang rela kehilangan anak demi Tuhan.
Zaman Sekarang: Masih Adakah Hajar yang Tegar?
Kita hidup di zaman yang sulit menerima narasi seperti ini.
- Istri hari ini butuh kepastian, bukan janji langit.
- Anak hari ini ingin dilindungi, bukan diuji.
- Ayah hari ini sibuk mengejar nafkah, bukan mengasah iman.
Makna pengorbanan jadi kabur.
Yang dikorbankan malah sering kali prinsip, waktu bersama keluarga, kejujuran, bahkan hati nurani—semua demi pencitraan, karier, atau kenyamanan.
Padahal, Idul Adha mengajak kita bertanya ulang:
“Apa yang sudah kita korbankan demi Tuhan?”
“Apa yang kita korbankan demi sesama?”
“Dan… apa yang seharusnya kita sembelih dari dalam diri kita?”
Menyembelih Bukan Hanya Hewan, Tapi Juga Kebinatangan
Ibrahim tak jadi menyembelih Ismail. Tuhan menggantinya dengan seekor domba.
Itulah simbol: yang harus disembelih bukan manusia, tapi sifat kebinatangan dalam diri.
Apa saja itu?
- Keserakahan yang menumpuk harta tapi lupa berbagi.
- Kesombongan yang merasa lebih tinggi dari sesama.
- Kebencian yang terus membakar perpecahan.
- Kedengkian yang merusak silaturahmi.
- Kecintaan buta pada dunia yang membutakan akhirat.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
Idul Adha Bukan Sekadar Ritual, Tapi Revolusi Batin
Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan.
Ia adalah panggilan untuk menyembelih segala hal yang menghalangi hubungan kita dengan Tuhan dan sesama manusia.
Dari kisah Ibrahim, Hajar, dan Ismail, kita belajar:
- Tentang iman yang melampaui logika.
- Tentang cinta yang tidak egois.
- Tentang pengorbanan yang tidak mengharap tepuk tangan.
Setiap tetesan darah hewan kurban adalah simbol:
Bahwa yang seharusnya disembelih adalah nafsu kita, keangkuhan kita, dan cinta berlebihan kita pada dunia.
Jadi, jika setelah Idul Adha:
- Kita masih memelihara dendam…
- Masih berat berbagi pada yang miskin…
- Masih enggan taat pada kebenaran…
Maka sesungguhnya kurban kita belum sampai pada esensi. Yang tersisa hanya kulit, darah, dan asap, bukan makna.
Idul Adha bukan sekadar seremoni di padang Arafah atau penyembelihan di halaman masjid.
Ia hidup dalam hati setiap insan yang ikhlas berkorban dan tunduk pada perintah Allah.
Karena sejatinya, kurban terbesar bukan pada besarnya hewan yang disembelih, melainkan pada kemampuan kita menaklukkan hawa nafsu, membebaskan diri dari kesombongan, dan membuka ruang bagi perubahan menuju kebaikan.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H.
Semoga setiap tetes pengorbanan kita diterima sebagai bukti cinta dan ketundukan kepada-Nya.
Mari sembelih ego, iri, dan angkuh dalam diri—agar hati kembali suci.
Penulis : Ibhe Ananda
Ketua Umum Serikat Wartawan Media Online Republik Indonesia, Pakar Hypnotherapy dan Coach Master
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok