Zonafaktualnews.com – Di kaki Gunung Rinjani, di antara semilir angin Gendang Beleq dan riuh Kecimol yang mengiringi langkah-langkah kecil di atas jalanan kampung, dua remaja berdiri di pelaminan, menukar masa kanak-kanak dengan beban rumah tangga.
RN (16), pemuda putus sekolah, menatap masa depannya dari balik pelukan adat Sasak. Di sisinya, YL (14), siswi kelas 1 SMP yang wajahnya belum lama lepas dari dunia boneka dan buku pelajaran, kini memanggul gelar istri.
Cinta RN tak lahir tiba-tiba. Ia bersemi dari relasi lama yang ironis. Dua tahun lalu, ia jatuh hati kepada kakak YL. Tapi takdir berkata lain. Hubungan kandas, namun rasa berpindah. Bukan ke luar, tapi ke dalam lingkar yang lebih sempit—kepada sang adik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Supaya tidak dibelas,” ujar RN singkat saat ditemui wartawan di rumahnya, Minggu (25/5/2025), merujuk pada upaya pemisahan pernikahan secara adat.
Dan benar, pernikahan ini bukan tanpa hambatan. Kepala Desa Sukaraja, Lalu Januarsa Atmaja, menuturkan bahwa tiga minggu sebelum acara Nyongkolan yang kini viral, pasangan remaja ini sempat dicoba dinikahkan, tapi digagalkan.
“Sudah kita upayakan terjadi pembelasan oleh Kadus dan kita berhasil melakukan pemisahan keduanya,” jelas Lalu Januarsa.
Namun cinta memang kadang nekat. RN membawa lari YL ke Sumbawa, dua hari dua malam, tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Karena orang tua/wali perempuan ndak ngasih dia. Dia ndak mau nerima kembali anak perempuannya,” ujar sang kades.
Di tengah penolakan, keluarga akhirnya menyerah. Dan pada 5 Mei 2025, pernikahan digelar.
Tanggal 21 Mei, Nyongkolan dilakukan besar-besaran. Denting musik, jaran kamput, gendang bertalu, seolah merayakan bukan hanya dua insan, tapi juga kekalahan norma usia dan hukum.
Video viral menunjukkan YL menari dan marah-marah, ditonton lebih dari 2 juta kali di media sosial. Sebuah potret kehidupan yang terlalu cepat dipercepat.
Kini RN bekerja serabutan. Menjual tembakau, mengangkut bawang dari Sembalun, hingga berburu rongsokan bersama pamannya demi menyambung hidup sang istri dan neneknya yang renta.
“Pernah sehari paling banyak dapat Rp 500 ribu,” akunya.
Ia mengaku putus sekolah karena perkelahian dan bentrok dengan petugas keamanan.
Ketika ditanya soal pendidikan ke depan, baik RN maupun YL diam. Tapi harapan masih muncul dari suara orang tua YL.
“Mereka berharap agar diberi pendampingan psikolog,” katanya.
Di ujung semua keramaian ini, pernikahan RN dan YL menyisakan tanya—tentang hukum, tentang budaya, tentang masa depan.
Apakah adat telah mengizinkan, sementara waktu belum? Atau, mungkinkah di tengah keterbatasan dan keterlambatan, dua anak ini hanya ingin satu hal sederhana: tidak dibelas?
(Id Amor)
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok





















