Di dunia politik, istilah “orang politik dipolitiki” bukanlah hal baru. Seringkali, figur yang dianggap kuat, strategis, atau berpengaruh besar justru menjadi sasaran berbagai manuver politik, baik yang halus maupun terang-terangan.
Istilah ini lebih dari sekadar permainan kata, melainkan mencerminkan realitas politik yang kerap kejam, penuh perhitungan, dan sarat intrik.
Politik adalah arena di mana kekuatan, strategi, dan popularitas diuji. Di sinilah orang politik, baik pejabat, calon legislatif, maupun relawan politik berada di bawah tekanan konstan.
Figur-figur ini menjadi “orang politik yang dipolitiki”, dijadikan alat untuk kepentingan pihak lain, atau diserang melalui isu-isu yang kadang bersifat pribadi.
Peristiwa pembakaran kantor DPRD di sejumlah provinsi di Indonesia dan penjarahan rumah anggota DPR RI menjadi contoh ekstrem dari bagaimana politik bisa “meledak” ke ranah publik.
Di balik kerusuhan ini, sejumlah pihak menuding keterlibatan kelompok yang dikenal sebagai kubu geng Solo, yang diduga memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu.
Bahkan, aparat penegak hukum telah menangkap beberapa pejabat dan menteri yang terindikasi terlibat praktik korupsi, sebagian menjadi tumbal politik karena tekanan publik dan investigasi yang menguak penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, berbagai bohir-bohir dan mafia politik diduga ikut memanaskan “mesin politik”, menyalakan api persaingan, dan memicu reaksi publik yang berujung pada kekacauan.
Praktik manipulasi opini, penyebaran isu, dan kepentingan kelompok tertentu menjadikan konflik politik semakin tajam, hingga dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
Kasus-kasus seperti ini menegaskan bahwa politik bukan hanya soal kebijakan atau program kerja, tetapi juga soal pengaruh, citra, dan strategi.
Orang politik, baik di level lokal maupun nasional, harus selalu waspada, tidak hanya terhadap lawan politik, tetapi juga terhadap mereka yang berada di dekatnya yang bisa memanfaatkan kelemahan demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Bagi masyarakat, peristiwa ini menjadi pengingat penting: jangan mudah terjebak pada narasi yang sengaja dibangun untuk “memolitiki” figur tertentu. Kritik harus tetap objektif, fakta dijaga, dan opini dibangun atas dasar logika, bukan propaganda semata.
Ungkapan “orang politik dipolitiki” kini terasa lebih nyata. Ketika strategi politik yang keliru, rivalitas antar kelompok, dan gesekan publik bertemu, konsekuensinya bisa berupa kekacauan, kerusakan institusi, hingga pejabat menjadi tumbal praktik korupsi yang terbongkar.
Kesadaran akan permainan ini adalah langkah awal menuju demokrasi yang sehat dan masyarakat yang kritis.
Makassar, 10 Septrember 2025
Penulis : Ibhe Ananda
Ketua Umum Serikat Wartawan Media Online Republik Indonesia
Follow Berita Zona Faktual News di TikTok





















